Hong Kong telah lama menjadi kota yang terkenal dengan budayanya yang dinamis, perekonomian yang sibuk, dan perpaduan unik antara pengaruh Timur dan Barat. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kota ini menjadi sorotan karena alasan yang berbeda – perjuangannya melawan pemerintahan otoriter.
Benih perjuangan ini muncul pada tahun 2019, ketika pemerintah Hong Kong mengusulkan rancangan undang-undang ekstradisi kontroversial yang memungkinkan tersangka kriminal diekstradisi ke Tiongkok daratan. Banyak penduduk melihat hal ini sebagai ancaman terhadap kebebasan dan otonomi mereka, karena khawatir hal ini akan mengikis sistem hukum unik kota tersebut, yang menjamin kebebasan sipil yang lebih besar dibandingkan di Tiongkok daratan.
Apa yang awalnya merupakan protes damai dengan cepat meningkat menjadi bentrokan sengit antara demonstran dan polisi, dan kedua belah pihak saling menuduh melakukan kekerasan yang berlebihan. Dunia menyaksikan dengan ngeri ketika gas air mata memenuhi jalan-jalan, para pengunjuk rasa ditangkap secara massal, dan kota tersebut mengalami kekacauan.
Meski pemerintah akhirnya mencabut RUU ekstradisi, protes tidak mereda. Sebaliknya, mereka berkembang menjadi gerakan yang lebih luas yang menuntut reformasi demokrasi yang lebih besar dan diakhirinya kebrutalan polisi. Lima tuntutan para pengunjuk rasa termasuk hak pilih universal, penyelidikan independen terhadap tindakan polisi, dan amnesti bagi pengunjuk rasa yang ditangkap.
Tanggapan pemerintah terhadap protes tersebut sangat keras, dengan ribuan penangkapan, penggunaan gas air mata dan peluru karet, dan tuduhan kebrutalan polisi. Kritikus menuduh pemerintah mengabaikan keluhan sah para pengunjuk rasa dan menggunakan taktik otoriter untuk menekan perbedaan pendapat.
Situasi ini memuncak pada bulan Juni 2020, ketika Tiongkok memberlakukan undang-undang keamanan nasional yang kontroversial di Hong Kong, mengabaikan badan legislatif kota tersebut dan memicu kecaman internasional. Undang-undang tersebut mengkriminalisasi pemisahan diri, subversi, terorisme, dan kolusi dengan kekuatan asing, dengan hukuman berat bagi mereka yang terbukti bersalah.
Banyak yang melihat undang-undang keamanan nasional sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap otonomi Hong Kong dan pukulan mematikan terhadap kebebasan kota tersebut. Para kritikus khawatir bahwa hal ini akan digunakan untuk menindak perbedaan pendapat, membungkam suara-suara pro-demokrasi, dan mengikis status kota tersebut sebagai pusat keuangan global.
Terlepas dari tantangan yang mereka hadapi, masyarakat Hong Kong telah menunjukkan ketahanan yang luar biasa dalam perjuangan mereka demi kebebasan dan demokrasi. Protes terus berlanjut, meski dalam skala yang lebih kecil karena tindakan keras pihak berwenang. Para aktivis melakukan perlawanan mereka secara online, menggunakan media sosial dan tekanan internasional untuk menjaga perhatian dunia terhadap perjuangan mereka.
Ketika perjuangan melawan pemerintahan otoriter di Hong Kong terus berlangsung, jelas bahwa masa depan kota ini berada dalam bahaya. Akankah Tiongkok terus menolak cengkeraman Beijing yang semakin ketat dan memperjuangkan kebebasannya, atau akankah Tiongkok menyerah pada tekanan pemerintahan otoriter? Hanya waktu yang akan menjawabnya, namun satu hal yang pasti – rakyat Hong Kong tidak akan menyerah tanpa perlawanan.